Jumat, 18 Juli 2014

generasi muda





https://www.facebook.com/photo.php?fbid=683310588406712&set=a.144983902239386.35784.141694892568287&type=1


Di negara-negara maju, tidak boleh ada kata-kata yang membunuh kepercayaan diri dalam rapor siswa-siswa, meskipun banyak siswa yang tidak sopan bahkan kurang ajar. Bahasa Inggris bukan bahasa pertama saya, sehingga kalau masa penulisan rapor tiba, lumayan stress, apalagi kalau harus menulis komentar sebanyak 100 anak dalam bahasa Inggris. Harus formal, mendorong dan tidak boleh negatif. Tidak ada sistem tidak naik kelas, meskipun nilai mereka jeblok semua, siswa otomatis naik kelas. Setelah mereka di kelas 9, mereka bisa memilih untuk mengambil jurusan kejuruan atau mempersiapkan masuk universitas sampai kelas 12. Baru ketika mereka ingin masuk universitas, seleksi yang ketat akan memisahkan anak yang mampu masuk universitas dan yang tidak. Dan tidak banyak universitas swasta di sini, jadi kalau gagal....silakan pillih yang lain.



Indeed,, ^^
MOS d sini lebih k arah pengenalan siswa k lingkungan yang baru,,
Senior memperkenalkan ap yg ad d lingkup sekolah dan kampus,, bahkan kami hanya diberikan tugas untuk membuat esay mendeskripsikan keperibadian masing2 n kesan kami saat MOS,
, dan tugas itu pun harus diserahkan k kepala fakultas/pembimbing bukan k senior selebihnya diisi seminar2 ttg fasilitas yang dimiliki tiap kampus, kesehatan, dan gimana caranya menggunakan fasilitas, kami juga ad city tour, bagi para siswa/mahasiswa yg memang berasal dari luar negri atau luar kota... it was so fun, dan hari terakir dari MOS kami dan para senior mengadakan acara bonding together, d mana kami dan para senior saling mengenal, kami bermain game, karaoke, dance n ad jg after party evening d mana para siswa baru dan senior(tidak diharuskan untuk ikut serta) pergi k club or bar, just for fun n know better,, semingu setelah MOS kami jg ad kegiatan (wajib) bagi para siswa baru yaitu sport day, kami berolah raga bersama semua mahasiswa (ky semacam class meeting). Tidak jg sampai d situ,, setiap taun, (tiap tanggal 1 Mei) seluruh pelajar d Finlandia dan swedia merayakan hari pendidikan (ala finlandia dan swedia yang dinamakan Vappu) semacam hari perayaan bagi para lulusan SMA dan juga para lulusan universitas,, kami semua biasanya turun k jalan,, pergi k pusat kota dengan menggunakan topi kelulusan (bentuknya ky topi pelaut bhehehehe bukan toga) kami turun k jalan bukan untuk tawuran, tapi kami minum champange dan piknik, beberapa jg pake kostum dan coveralsyang menunjukan dari univ mana mereka belajar (klo d indo itu jaket kampus yang berbeda warna tiap kampus) beberapa kampus akan membuka stan bermain games, or just chill around ^^ dan semua mahasiswa/siswa tak terkecuali boleh gabung .. *pengalaman jd pelajar d finlandia


 di Australia dan di sini. Bedanya di sana meskipun gampang tapi saya ditarik maju menyelesaikan tahap demi tahap, di sini saya langsung dikasih semua permasalahan tanpa dorongan untuk maju, melainkan pematahan semangat di tahap yang itu-itu saja. Pengajar di sini seakan merasa pintar kalau melihat anak didiknya tidak bisa menjawab atau bisa menjawab setelah dikasih kegagalan berkali-kali...

 di indonesia, guru cari salahnya murid buat di masalahin, di luar negeri guru cari benernya murid buat belajar.. makanya banyak orang di mari bikin masalah buat cari duit bukan belajar cari duit..


 Encouragement - Prof. Rhenald Kasali, Ph.D
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI






Tidak ada komentar:

Posting Komentar