Jumat, 25 Juli 2014

Karna oleh Putu Yudiantara

KARNA, SEBUAH KISAH TENTANG TAHTA

18 Mei 2014 pukul 22:39
Tayangan di TV itu, sebuah kisah yang telah memberiku panutan semenjak aku masih duduk di bangku sekolah dasar, membuatku merinding dan tenggelam dalam semangat berkarya yang lebih besar...

Dia hanya berdiri, berdiri menahan air mata, berdiri karena kakinya dibuat kaku oleh keyakinan pada kemampuan yang siap ia pertunjukkan untuk menantang Arjuna, sang Pangeran dari Hastina Pura. Tapi sebagian dari dirinya merasakan desakan, desakan untuk meninggalkan kalangan tempur para ksatria itu, desakan yang menginjak dan merendahkanya sebagai seorang putra kusir, yang tidak berhak mengikuti adu tanding para ksatria Bharata.

Karna, seorang pemanah yang telah bertahun-tahun melatih kemampuannya membentangkan busur dan membidikkan anak panah itu tidak bisa mengikuti pertandingan itu karena dia bukanlah putra raja. Malah yang diterimanya adalah cemooh dan hinaan telah memasuki kalangan para ksatria yang sedang mengadu kemampuannya masing-masing.

Tidak kuasa menahan hinaan atas dirinya, orang tuanya dan tanah kelahirannya, setelah berupa melawan hinaan itu dengan kemampuannya membela diri melalui kata-kata, akhirnya dengan penuh rasa malu dan kecewa berjalan melangkah dari kalangan adu tempur, sebelum pernah menunjukkan kalau bahkan seorang putra kusir pun bisa lebih hebat dari putra raja yang dididik oleh para guru agung kerajaan.

Putra Dewa Surya itu tidak berdaya, karena yang dinilai bukanlah kemampuan yang berani diadunya, kemampuan yang terus menerus diasahnya, tidak berdaya karena dia dinilai berdasarkan siapa ayahnya, siapa ibunya dan dimana tahta yang diwarisinya.

Tapi ternyata Tuhan tidak setega itu pada manusia yang telah melayakkan dirinya.

Tuhan menunjukkan kemuliaan-Nya dengan membuat seorang pangeran Wangsa Kuru berteriak "Dia adalah raja!" pada orang yang menjadikan kemampuannya sehebat raja namun tidak punya kesempatan menyombongkan diri berteriak-teriak sendiri, "aku adalah raja".

Duryodana, si pangeran kejam itu mengangkat Karna si Putra Kusir sebagai Raja Angga agar dia bisa mengikuti adu tanding para ksatria.

Karna, yang tadinya dipermalukan karena tidak dikenal sebagai putra raja berhasil mentahtakan dirinya sebagai Raja dengan kemampuan yang diasahnya.

Tahtanya bukan berasal dari darahnya, tahtanya berasal dari tangan yang terus diajaknya melatih kemampuannya sendiri.

Kisah tentang Karna inilah yang semenjak aku masih sangat kecil memicu kekagumanku, karena aku melihat sebuah kesempatan dimana aku bisa diperlakukan layaknya pangeran meskipun aku dilahirkan di "kandang kuda".Aku tidak perlu menyesalkan rahim yang melahirkanku karena aku masih bisa memuliakan diri dan keluargaku dengan upayaku dan kerja keras sendiri, seperti yang dicontohkan Ayahku.

Dan seperti Karna, akupun selalu berteriak "Aku bangga pada ayahku" setiap kali kemampuan yang aku latih lebih mengundang decak kagum dibanding mereka yang hanya mengandalkan upaya dan kuasa orang tuanya.Aku bangga pada ayahku karena dialah yang menunjukkan padaku arti kerja keras dan impian.

Hari ini, aku diingatkan lagi pada tokoh panutanku itu, pada Karna Sang Putra Kusir yang akhirnya menjadi Raja Angga karena kemampuannya oleh tayangan di ANTV ini. Hari ini, aku semakin mencintai diriku, tempat lahirku dan tentu saja, "Aku bangga pada ayahku" Kusir miskin yang mengajarkan dan mempersiapkanku hidup layaknya seorang Raja.

Tapi, tentu saja, kisahku belum berakhir, karena aku belum memegang mahkota yang nantinya akan aku letakkan di kaku ayahku tercinta itu. Dan tentu akan tiba masaku menerima tahta setelah aku perkuat lagi bentangan busurku dan ketepatan anak panahnya.


Karna saat menunjukkan kekuatannya dalam menjadi seorang "kusir"Karna saat menunjukkan kekuatannya dalam menjadi seorang "kusir"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar