Termasyhur dan mendunia
KITLV adalah tempat penyimpanan pustaka akademis internasional yang mengkaji Indonesia. Lembaga ini juga telah memberikan kontribusi besar dalam menjadikan Universitas Leiden sebagai Mekahnya studi Indonesia.
KITLV Leiden,
karena kekayaan perpustakaanya yang berlimpah itu, wajib dikunjungi
oleh para peneliti yang ingin menulis risalah akademis bermutu tentang
Indonesia.
KITLV berdiri tahun 1851 di Delft
atas inisiatif tiga orang intelektual Belanda: Menteri Wilayah Jajahan
yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.C. Baud;
Professor Studi Jawa di Delft dan Leiden, Taco Roorda; dan Direktur
Akademi Kerajaan Belanda di Delft, Gerrit Simons. Berdirinya KITLV untuk mengembangkan studi tentang tanah, budaya,
dan masyarakat jajahan (Hindia Belanda) di negara induknya (Belanda)
untuk melanggengkan kekuasaan kolonial mereka di nusantara.
Maarten Kuitenbrouwer dalam bukunya Dutch
Scholarship in the Age of Empire and Beyond: KITLV - The Royal
Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribean Studies, 1851 - 2011
(2014) membagi perjalanan sejarah KITLV menjadi lima fase: era rezim
konservatif dan liberal (1851-1870); era imperialisme, orientalisme dan
politik etis (1870-1914); masa mencelatnya kajian Indologi di Leiden
mendekati akhir zaman kolonial (1914-1940); era dekolonisasi dan
internasionalisasi (1940-1975; dan era kegiatan akademik postkolonial
(1975 - [2014]). Dengan demikian, KITLV telah menjalani kehidupan dalam
zaman kolonial dan postkolonial.
KITLV telah beberapa kali pindah kantor: dari
Delft ke Den Haag tahun 1903, kemudian pindah ke Leiden tahun 1967.
Sejak itulah nama Leiden melekat pada KITLV, sehingga seluruh dunia
mengenalnya dengan nama KITLV Leiden. Oleh karena itu
pula banyak orang mengira KITLV adalah bagian dari Universitas Leiden,
padahal secara administratif lembaga ini berdiri sendiri dan langsung
bertanggung jawab kepada Pemerintah Kerajaan Belanda (melalui KNAW -
Akademi Kerajaan Belanda untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan).
Dalam usianya yang cukup panjang, KITLV telah
berkembang pesat. Hal itu tidak hanya dapat dikesan dari meningkatnya
jumlah pegawainya (staf umum dan peneliti) dari hanya beberapa orang
saja pada tahun-tahun awal berdirinya menjadi sekitar 55 orang pada
tahun 2014.
Pengembangan internal KITLV dilakukan pada
tahun 1970-an. Selain Departemen Perpustakaan yang sudah lebih dulu ada,
dibentuk 3 departemen baru: Departemen Dokumentasi Sejarah Indonesia,
Departemen Dokumentasi Indonesia Modern, dan Departemen Karibia yang
meneliti daerah-daerah bekas jajahan Belanda di Karibia (termasuk
Suriname) dan memberi masukan untuk penambahan koleksi perpustakaannya
yang terkait dengan wilayah tersebut. Selain itu ada pula KITLV Press
yang mengurus penerbitan buku dan Jurnal BKI.
Setiap tahun Perpustakaan KITLV terus menambah
koleksinya yang terkait dengan Asia Tenggara (dengan fokus Indonesia)
dan Karibia, meliputi buku, jurnal ilmiah, surat kabar, dan majalah;
materi visual (foto, sketsa, peta, atlas); dan audio visual (piringan
hitam, kaset, CD, VCD). Sekitar 10.000 judul buku dibeli setiap tahun
dari Indonesia yang dikoordinasikan oleh Kantor Cabang KITLV di Jakarta
yang dibentuk tahun 1969. Koleksi Perpustakaan KITLV mencapai lebih
sejuta judul (buku, jurnal, majalah, surat kabar), puluhan ribu foto,
kartu pos, sketsa, gambar, peta dan atlas, dan ratusan piringan hitam,
kaset, CD, dan VCD yang panjangnya lebih dari 10 km jika dijejer.
KITLV Press, bekerjasama dengan penerbit lain,
telah menerbitkan tidak kurang dari 580 judul buku, sebagian besar di
antaranya tentang Indonesia, yang meliputi bidang linguistik,
antropologi, sejarah, hukum, dan umum.
Akhir hayat sebuah legenda
Akibat krisis ekonomi yang melanda Eropa,
Pemerintah Belanda memotong subsidi untuk museum dan melakukan merger
berbagai lembaga kebudayaan untuk menghemat biaya. KITLV pun terkena
dampaknya. Semula Pemerintah mengusulkan agar KITLV dipindahkan ke
Amsterdam untuk disatukan dengan lembaga-lembaga lain yang berada di
bawah otoritas KNAW. Akan tetapi para pegawai KITLV menolak karena
mempertimbangkan nama KITLV yang sudah begitu menyatu dengan nama
(Universitas) Leiden.
Akhirnya dipilih jalan kompromi: seluruh koleksi perpustakaan KITLV tetap berada di Leiden (Mare,
23 October 2013). Mulai 1 Juli 2014, setelah eksis selama 163 tahun,
KITLV ditutup untuk selamanya. Seluruh koleksi perpustakaannya
diserahkan ke Unibersiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden) yang letaknya
hanya sekitar 30 meter di sebelahnya (di seberang kanal), sementara
departemen penelitiannya akan terus eksis. KITLV Press diambil alih oleh
Penerbit Brill yang tetap menerbitkan Jurnal BKI. Sedangkan KITLV-Jakarta akan beralih fungsi sebagai perkawilan Universitas Leiden di Indonesia.
Universitas Leiden cukup lega
dengan keputusan itu. Bekas koleksi Perpustakaan KITLV makin menambah
koleksi UB Leiden dan kian mengukuhkan eksistensinya sebagai
perpustakaan yang terkaya di dunia mengenai Indonesia. Dengan demikian,
diharapkan Universitas Leiden akan tetap menjadi pilihan paling menarik
bagi mahasiswa internasional yang ingin melakukan studi tentang
Indonesia dan Leiden tetap menjadi kota yang perlu dikunjungi oleh
komunitas akademis internasional yang mengkaji Indonesia.
Namun, tentu saja ada yang hilang
dengan ditutupnya KITLV: suasana keindonesiaan di ruang baca dan
tamannya, tempat para mahasiswa dan peneliti internasional bertemu
dengan rekan-rekan Indonesianya. Belum ada gambaran yang jelas bagaimana
nantinya bekas koleksi perpsutakaan KITLV akan dikelola oleh UB Leiden.
Mudah-mudahan UB Leiden akan menyedikan ruang Indonesia, sekecil
apapun, sehingga arwah KITLV tetap terasa di sana.
Suryadi, dosen kajian Indonesia di Universitas Leiden, Belada
* Artikel ini dimuat di harian Kompas edisi siang, Sabtu, 12 Juli 2014
Pada
27 Juni 2014, Koninklijk Institute voor de Taal-, Land- en Vokenkunde
(Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) yang
berpusat di Leiden (biasa disebut KITLV Leiden) ditutup untuk selamanya. Dalam situs KITLV dikatakan bahwa penutupan secara resmi dilakukan tanggal 1 Juli 2014.
Penutupan KITLV itu telah mengagetkan para
Indonesianis internasional. Banyak petisi dikirimkan kepada Pemerintah
Belanda, namun tampaknya penguasa di Den Haag tetap pada keputusannya:
mengakhiri hidup KITLV dengan alasan untuk menghemat pengeluaran
pemerintah.
sumber
http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/1319
Tidak ada komentar:
Posting Komentar